Bisnis.com, JAKARTA -- Sistem pemilihan umum di Indonesia mengakibatkan representasi orang asli Papua di parlemen daerah kalah dari para pendatang.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen) Melkias Hetharia menjelaskan bahwa DPRD kabupaten/kota di Papua justru tidak didominasi oleh penduduk asli setempat.
Padahal, keberadaan orang asli Papua (OAP) dapat menggiring kebijakan yang mendukung aspirasi kaumnya.
Melkias mencontohkan DPRD Kota Jayapura hasil Pileg 2019 hanya diisi oleh 13 OAP dari 40 kursi yang tersedia. Bahkan, tambah dia, hanya lima orang Papua asli bercokol di DPRD Kabupaten Merauke dari 30 anggotanya.
“Begitu juga di daerah Papua yang lain. Lebih celaka lagi di daerah lain,” katanya saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU Otsus Papua di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Berkaca dari fenomena tersebut, Melkias setuju bila UU mengakomodasi warga Papua hak untuk membentuk partai politik lokal. Harapannya, partai politik lokal yang beranggotakan penduduk asli bisa mengirimkan wakilnya ke parlemen daerah.
Saat ini, kata Melkias, anggota DPRD dari partai politik nasional belum mampu memenuhi aspirasi OAP, terutama terkait kepentingan adat. Sekalipun wakil rakyat tersebut adalah OAP, terdapat hambatan karena kebijakan partai politik nasional lebih cenderung bersifat nasional.
“Ada pihak tertentu, lembaga tertentu yang mencaplok tanah masyarakat adat dan tidak bisa disuarakan oleh partai politik nasional. Mereka bungkam semua,” ujarnya.
Papua, imbuh Melkias, adalah daerah paling heterogen di Indonesia. Saat ini saja, terdapat 254 bahasa daerah di Tanah Papua yang menandakan suku-suku berbeda dengan kepentingan adat berlainan pula.
“Untuk daerah homogen maka tidak pantas ada partai lokal,” tutur alumnus Universitas Padjadjaran ini.
Melkias memberikan keterangan dalam sidang pemeriksaan perkara pengujian UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Permohonan diajukan oleh Partai Papua Bersatu (PPB), partai politik lokal di Bumi Cenderawasih.
Pasal 28 UU Otsus Papua mencantumkan hak penduduk Papua untuk membentuk ‘partai politik’ beserta tata cara dan rekrutmennya. Namun, sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dapat melahirkan satu partai politik lokal pun di Papua karena penggunan frasa ‘partai politik’.
Merujuk payung hukum partai politik, terakhir dengan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), ‘partai politik’ dimaknai sebagai organisasi yang bersifat nasional.
Lantaran keberadaan frasa ‘partai politik’ dalam UU Otsus Papua, PPB tidak bisa ditetapkan sebagai peserta pemilu. Pemohon meminta MK menafsirkan frasa tersebut sebagai ‘partai politik lokal’.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel