Bisnis.com, JAKARTA – Freeport Mc Moran Inc. merasa tidak bisa lagi mempertahankan pertambangan Grasberg, aset tambang tembaga dan emasnya di Indonesia, jika harus mengikuti standar lingkungan yang baru-baru ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
Hanya dalam dua minggu, pertambangan yang berasal dari Phoenix, AS tersebut, dibuat terkejut dan kecewa terkait dengan standar lingkungan terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Tidak ada perusahaan yang bisa menambang bijih secara konsisten dengan adanya keputusan pemerintah tersebut. Secara fisik, itu tidak mungkin,” ujar Chief Executive Officer Mc Moran Richard Adkerson, dikutip dari Bloomberg, Rabu (25/4/2018).
Selama 20 tahun, pertambangan tembaga terbesar di dunia itu telah membuang tailing bijih besi Grasberg ke sungai. Perusahaan tambang membuat saluran untuk kemudian disimpan di 'area terpencil'. Peraturan mengenai tailing tersebut tidak lagi diindahkan sejak 1990-an setelah pemerintah melakukan perundingan secara transparan dengan Freeport.
“Hal itu selalu menjadi kontroversi, dan sistem tersebut telah berjalan, tidak ada ekspektasi akan konsekuensi lingkungan,” ujar Adkerson.
Saham Freeport tercatat mulai menurun sejak konferensi melalui telepon dan berakhir turun 15% pada US$16,08 di New York di penutupan perdagangan. Nilai tersebut merupakan penurunan terbesar sejak Januari 2016 dan membuat perusahaan mendapat rapor merah di indeks S&P 500.
“Pasar menginterpretasikan kabar tersebut sebagai ancaman terhadap divestasi yang sedang terjadi antara Freeport dengan pemerintah, dan diprediksi akan memperpanjang negosiasi tersebut untuk waktu yang lebih panjang lagi,” ujar Jeremy Sussman, analis Clarkson Platou Securities pada Selasa (24/4/2018).
Menurutnya, fakta bahwa pertambangan tersebut telah melakukan penurunan panduan produksi untuk 2018 dan 2019, dan meningkatkan biaya panduan tahun ini sehingga menekan kinerja.
Indonesia memaksa Freeport untuk menjual sebagian saham, PT-FI, kepada pembeli domestik sebagai bagian dari kesepakatan supaya Freeport tetap diizinkan beroperasi di Indonesia.
Negosiasi tersebut telah berjalan selama lebih dari satu tahun dan semakin rumit akibat kebijakan produksi dari Rio Tinto yang jika dijual akan mengurangi jumlah nilai yang harus didivestasikan Freeport sebagai pemegang kepemilikan lokal hingga 51%.
Saat ini, PT-FI beroperasi di bawah lisensi pertambangan sementara, yang akan berakhir 20 Juni mendatang. Perizinan yang digunakan sebelumnya kedaluarsa pada Februari 2019.
Kunci utama standar lingkungan yang baru lebih membahas ke arah seberapa banyak tailing yang harus ditarik Grasberg dari sungai hingga keadaan sungai kembali pulih.
Sebelumnya, setengah dari tailing seharusnya disimpan di darat, tapi saat ini pemerintah meminta untuk mengalihkan penyimpanan hingga 90% ke darat, level yang menurut Adkerson tidak mungkin dilakukan.
“Aturan tersebut tidak bisa di dalam tenggat waktu 6 bulan, 24 bulan dan 5 tahun. Terlalu sulit untuk dicapai,” ujar Adkerson.
“Perusahaan tersebut telah diberikan waktu selama enam bulan untuk mendiskusikan isu lingkungan dengan kementerian lingkungan. Saya tidak menganggap itu sebagai tenggat deadline,” kata Eric Kinnerberg, juru bicara freeport.
Adkerson menyampaikan bawa freeport sudah berusaha menghubungi pemerintah Indonesia untuk membahas isu itu.
“Mereka [KLHK] mengatakan bahwa wilayah tersebut menjadi rusak karena terkena dampak lingkungan. Tentu saja demikian, kami memiliki 2,5 miliar ton bijih yang harus diolah dan mengambil konsentratnya, kemudian menyimpan tailing-nya di tempat lain,” kata Adkerson.
Dia mengungkapkan bahwa sesungguhnya tailing tersebut aman untuk lingkungan, bahkan air yang mengalir bisa dikonsumsi, dan ada peternakan kepiting air tawar di wilayah tersebut.
Adkerson juga menyampaikan bahwa standar yang baru seperti termotivasi oleh politik dan tidak menimbulkan dampak apapun terhadap sudut pandang perusahaan dan nilai aset.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel